Sinopsis
Pada 25 Januari 2020, setelah pemerintah pusat memberlakukan kuncitara di Wuhan, penulis terkenal Tiongkok, Fang Fang, mulai menerbitkan buku hariannya secara daring. Setiap malam, unggahan Fang Fang menyuarakan ketakutan, kemarahan, dan harapan jutaan warganya. Kisahnya merefleksikan dampak psikologis dari isolasi paksa dan yang paling tragis: nyawa tetangga dan teman yang diambil oleh virus mematikan itu. Sebagai laporan saksi mata, Wuhan Diary berbicara lantang menentang ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan masalah lain yang menghambat respons terhadap epidemi dan membuat dirinya terlibat dalam kontroversi daring karenanya.
Melalui catatan hariannya, Fang Fang berupaya mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi virus baru, penderitaan warga Wuhan juga menimpa warga di mana-mana, “Virus adalah musuh bersama umat manusia. Satu-satunya cara untuk menaklukkan virus ini dan membebaskan diri dari cengkeramannya adalah dengan kerja sama seluruh umat manusia.”
“Buku ini benar-benar menggambarkan kondisi pandemi yang sangat mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. Setiap kalimat yang penulis sampaikan mewakili setiap suara dan emosi yang saya rasakan, ketika mengamati respons pemerintah dan masyarakat umum dalam menghadapi pandemi. Terlebih ketika saya—tenaga kesehatan yang aktif menyuarakan promosi kesehatan seputar pandemi—sempat terjangkit COVID-19 dan menjadi penyintas. Bagi saya, buku ini sangat relatable.
“Cara penulis menceritakan kejadian demi kejadian yang ia alami memanggil setiap emosi yang saya pendam selama ini. Kekhawatiran, perasaan greget, kekecewaan, kesedihan, dan putus asa tergambar dengan nyata. Buku ini cocok dibaca oleh kalangan siapa saja karena berisi banyak sekali kisah-kisah dari berbagai sisi kehidupan masyarakat dan perjalanan survival penulis dalam melawan pandemi yang naik turun bak rollercoaster.
“Ada banyak sekali hikmah dan pelajaran penting yang dapat diambil dari buku ini tentang arti tanggung jawab, keberanian menyampaikan kebenaran, berbagi beban, ketulusan sikap, ketabahan menghadapi kenyataan terburuk, dan usaha besar untuk bangkit.”
—Ns. Rizal do (@afrkml), penyintas COVID-19
“Membuka buku harian Fang Fang ketika saya menjalani karantina adalah jenis pengalaman nyata yang belum pernah saya alami sejak membaca 1984 karya George Orwell.”
—
Anna Fifield
, Washington Post
“Siapa yang tidak kenal Kota Wuhan, epicenter pandemi Covid-19, yang menjadi terkenal di seluruh dunia. Sejak Desember, setiap hari saya selalu menyempatkan mencari berita pandemi yang terselubung banyak misteri. Terbayang Kota Wuhan yang saya kunjungi pada 2013, ketika menghadiri pertemuan ‘Public Health’ di University Wuhan.
“Ketika membaca Diary Wuhan dalam versi Bahasa Inggris sekaligus mendengarkan audionya, terbayang kembali pengalaman penduduk Wuhan dalam suasana pandemi yang mencekam. Karantina wilayah kota merfupakan pilihan yang diambil pemerintah Tiongkok agar bisa mengendalikan penularan dan tidak meluas ke kota lain.
‘... Dalam perjalanan pulang, saya terus bertanya-tanya. Saya sudah mendengar tentang virus ini sejak 31 Desember, kenapa semua orang demikian lalai menyikapi selama 20 hari berikutnya? Kami seharusnya sudah memetik pelajaran dari wabah SARS pada 2003. ‘Kenapa’ ini juga menjadi pertanyaan yang diajukan banyak orang kepada diri sendiri. Sejujurnya, salah satu penyebabnya adalah kami memang terlampau gegabah. Realitas kehidupan yang objektif secara tak langsung menjadikan kami gegabah. Namun, alasan terpenting, kami terlalu percaya pada pemerintah ...’
‘... bahwa kesalahan manusia turut berperan dalam mengakibatkan musibah ini.. serta kurang serius menyikapi virus ini ...’
‘... para politikus dari kedua kutub ideologi saling tuding, pun tidak mengakui bahwa semua orang sempat salah langkah sepanjang perjalanan... menaklukkan virus ini adalah dengan bekerja sama secara kompak sebagai umat manusia.’
“Membaca buku ini seperti membaca buku silat Tiongkok, tidak mau dilepas sebelum dibaca tuntas. Kisah yang sangat menarik, mungkin ada pengalaman yang sama, atau kita bisa mengetahui bahwa kecemasan, kekesalan, ketakutan dalam suasana pandemi yang sangat manusiawi bisa terjadi dimana saja. Uniknya, ini terjadi pada Kota Wuhan, di mana Covid-19 berasal sehingga diberlakukan lockdown total.”
—
Dr. Pandu Riono, MPH., Ph.D (@drpriono1), epidemolog