Setiap hari Jumat, aku dan para staf rapat untuk menentukan pasien mana yang akan mendapat pembebasan biaya cuci darah. Seperti gladiator di Roma, kami menentukan hidup dan mati pasien. Yang paling banyak mendapatkan suaralah yang akan mendapatkan bantuan. Bila tidak? Dia mungkin akan meninggal karena kehabisan biaya pengobatan.
Itu adalah salah satu kegundahan Rully Roesli, seorang dokter ahli ginjal yang prihatin melihat susahnya jadi orang sakit di zaman sekarang. Dulu dia bercita-cita menjadi dokter semata dilandasi kepedulian terhadap sesama. Dia tak pernah menyangka bahwa kondisi mengharuskannya terjebak dalam perang batin. Bertindak seolah “Tuhan” dengan menentukan siapa yang bisa mendapatkan subsidi cuci darah dan siapa yang menyerah untuk mati karena tak mendapat bantuan biaya pengobatan gagal ginjal.
Memang miris, pelayanan kesehatan di Indonesia masih amburadul dan tidak memihak rakyat. Bahkan, kemudian muncul istilah-istilah seperti “Sadikin”, sakit jadi miskin, dan euthanasikon, menyerah pada penyakit karena kondisi keuangan tidak memungkinkan.
Di buku ini, Rully Roesli, menyuarakan keprihatinannya sebagai seorang dokter. Betapa mahalnya biaya kesehatan dan terbatasnya subsidi harus membuatnya bertindak seolah “Tuhan”. Menentukan siapa yang hidup, dan siapa yang mati.
“Buku ini mampu membuat saya menambah daftar permohonan doa: ‘Jadikan aku seorang pasien bernurani dan berhati bijak, bukan yang bermulut menjerit dan berperilaku seperti dewa. Berikan pengertian kepadaku bahwa tubuhku adalah rumah-Mu. Sehingga aku bisa berpikir bahwa menjadikan pasien sehat itu, bukan pekerjaan utama dokter. Tetapi aku yang mencintai-Mu.’”