Sinopsis
Apa arti sebuah nama? Itu adalah ungkapan pujangga kenamaan Inggris, William Shakespear (1564-1616). Dalam salah satu adegan drama Romeo & Juliet, ada dialog dimana Juliet mengatakan, “Apa arti sebuah nama? Bukankah bila kita memberi nama bunga mawar dengan nama lain, bunga itu tetaplah indah dan berbau harum.”
Yang ingin digarisbawahi oleh Shakespear adalah nama itu tidak penting, mengingat apa pun nama yang diberikan kepada suatu benda, orang akan mencarinya jika benda itu memang bagus dan dibutuhkan. Demikian juga sebaliknya, sebagus apa pun nama yang diberikan pada suatu benda, jika benda itu tidak bagus, orang akan mengabaikannya. Namun, sebagian besar dari kita tentu tidak akan sepakat dengan Shakespear, karena nama itu sangat penting. Nama merupakan mutiara peradaban manusia. Fungsi tertua bahasa adalah untuk memberi nama. Halliday (1972) menyebut, nama berfungsi sebagai ideasional. Segala entitas–nyata maupun abstrak–memerlukan identitas. Dengan nama, segala sesuatu–kasat mata maupun nyata–jelas sosoknya. Menurut Lenneberg (1967), capacity of naming menjadi pembeda manusia dari binatang. Binatang dapat memiliki nama, tetapi tidak kuasa memberi nama. Manusia mampu melakukan keduanya.
Apa pentingnya nama bagi Anda? Bagi saya, nama merupakan identitas dari segala benda–hidup dan tidak hidup. Segala sesuatu dapat diidentifikasi melalui nama. Bahkan, bagi manusia nama ada doa. Karena itu, setiap ibu pasti akan memberikan nama terbaik untuk anaknya. Begitu pula dengan anak laki-laki kelahiran 2 Juni 1897 yang diberi nama Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka.
Ia adalah seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora, dan kini mungkin, dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap: Kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi. Hatinya selalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama, kemerdekaan Indonesia. Karena hidup dalam buruan, maka ia memiliki 23 nama samaran. Ia pun telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer–dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Ke-23 nama samaran yang digunakan lelaki berwajah tirus ini yaitu Elias Fuentes, Estahislau Rivera dan Alisio Rivera (Filipina), Hasan Gozali (Singapura), Ossorio (Shanghai) Ong Soong Lee (13 varian, Hong Kong), Tan Ming Sion (Burma), Cheung Kun Tat dan Howard Law (Cina), Legas Hussein, Ramli Hussein dan Ilyas Hussein (Indonesia).
Untuk menyempurnakan penyamarannya, sejak melarikan diri ke Filipina (1925-1927) hingga keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, ia selalu memakai topi perkebunan (tropis) dan paling banyak membawa dua setel pakaian, yaitu celana selutut, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, dan selalu membawa tongkat. Ia juga selalu duduk menghadap jendela rumahnya atau setiap kali berkunjung ke rumah orang lain. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika Serikat, atau Jepang datang menggerebek.
Buku ini mencoba menapaktilasi perjalanan Tan Malaka ketika menggunakan nama samaran Ilyas Hussein. Nama samaran ini sangat berarti baginya sebagai alat perjuangan, ketika Indonesia sedang berjuang merebut kemerdekaan.