Sinopsis
Pertanyaannya, dalam berbicara tentang kehidupan (bersama), haruskah kita sekata? Benarkah Bahasa mempersatukan kita? Adakah budaya yang ragam mempersatukan kita atau –bisa-- sebaliknya? Buku ini, seperti berbagai buku lain yang merenungi gerak hidup manusia Indonesia, dengan sederhana dan salah tingkah mencoba memahami gaduh seru lucu haru yang ada dan mengatakan apa yang menyengkilit dan membuatnya amnesia.
Jelas, Indonesia kaya raya. Namun, kita tak acuh bahkan tidak hendak mengenal apalagi mengakuinya. Masalah bahasa. Ketakmengertian budaya dan jati diri. Persoalan kesadaran bangsa. Kekayaan budaya, termasuk kearifan lokal yang menjadi slogan belaka. Wawasan kebangsaan? Dirasakan adanya bahaya partikularisme dan relativisme budaya. Kita bahkan tak hirau dengan kemungkinan proxy war.
Apakah yang perkara? Siapakah kita sesungguhnya? Krisis identitas? Berulang kembali kita membicarakan tonggak budaya seperti bendera, NKRI, Sumpah Pemuda, Bineka Tunggal Ika, Pancasila, Bahasa Indonesia, yang kesemuanya ternyata kita lupakan karena terkecoh oleh sengat gemerlap gairah mengejar masa depan.
Saya berharap kelima belas bab dalam buku ini dapat menunjukkan kepada pembaca apa yang menjadi soal, kompleksitas dan kemultidimensionalan perkara hidup dan budaya kita, apa yang perlu dipertengkarkan dan dipertimbangkan dalam upaya membangun bangsa dan memastikan hakikat dan martabatnya. Dengan kondisi yang ada, globalisasi, dan teknologi canggih yang membuat mulut ternganga dan kehidupan pun terbawa, kemajuan pesat yang tak mempertanyakan ketertinggalan apalagi kesiapan, dan pemerintahan yang gamang, buku ini bertanya: akan ke manakah kita sebagai bangsa yang ber-”budaya krisis” bergerak dan menuju? (Riris K. Toha Sarumpaet, Ketua DGB Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI)