Dikirim 2-5 hari berikutnya SETELAH pembayaran diterima. (Senin s/d Jumat, kecuali hari libur)
Sinopsis
Buku Kapita Selekta Perkara Tindak Pidana Korupsi Indonesia: Perspektif Asas, Teoretis, Normatif, dan Praktik Peradilan, ini diperuntukkan bagi praktisi, teoretisi, akademisi, mahasiswa Fakultas Hukum untuk para peserta Pelatihan Diklat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc.
Sebagai sebuah buku “Kapita Selekta” ada beberapa kajian tentang perkara tindak pidana korupsi, dilihat dari perspektif asas, teoretis, normatif, dan praktik peradilan. Terbagi dalam 3 (tiga) bagian, dan 8 (delapan) bab. Bagian Pertama tentang Dimensi, Panorama, dan Paradigma Perkara Tindak Pidana Korupsi; Bagian Kedua tentang Konsepsi dan Eksistensi Titik Singgung Menyalahgunakan Kewenangan dan Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi dan Hukum Administrasi Negara; Bagian Ketiga tentang Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi dan Model Ideal untuk Pemidanaan Masa Mendatang Berbasis Keadilan.
Buku ini sangat berguna bagi para bagi praktisi, teoretisi, akademisi, mahasiswa fakultas hukum baik program S-1, S-2, S-3, dan siapa saja yang tertarik dengan bidang ini.
BAGIAN PERTAMA
DIMENSI, PANORAMA, DAN PARADIGMA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI INDONESIA 1
BAB 1 PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF ASAS, NORMATIF, DAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI-KORUPSI 2003 (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION 2003) PASCA-RATIFIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2006 2
Paradigma, Panorama, dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi Indonesia 2
Karakterist ik Formulasi Tindak Pidana Korupsi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 12
Kerugian Keuangan Negara (Pasal 2, Pasal 3) 13
Suap Menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b,Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 13) 40
Penggelapan dalam Jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c) 53
Pemerasan (Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g) 54
Perbuatan Curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h) 56
Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (Pasal 12 huruf i) 57
Gratifikasi (Pasal 12B jo. Pasal 12C) 57
Generasi Politik Hukum Peraturan Tindak Pidana Korupsi Indonesia dalam Titian Lintasan Sejarah 59
Jenis Tindak Pidana Korupsi dalam Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti-Korupsi 2003 71
Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-pejabat Publik Nasional (Bribery of National Public Officials) 73
Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery inthe Private Sector) dan Penggelapan Kekayaan di Sektor Swasta (Embezzlement of Property in the Private Sector) 75
Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah (Ilicit Enrichment) 77
Tindak Pidana Korupsi Memperdagangkan Pengaruh (Trading in Influence) 79
BAB 2 KONSEPSI DAN EKSISTENSI TITIK SINGGUNG MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 83
Dimensi Kewenangan dan Wewenang 83
Pengertian, Perbedaan Kewenangan, dan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi dan Hukum Administrasi Negara 86
Dimensi Menyalahgunakan Kewenangan dan Penyalahgunaan Wewenang 94
Norma Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Administrasi Negara 104
Dalam Tindak Pidana Korupsi 104
Dalam Hukum Administrasi Negara 116
Persinggungan Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang dalam Hukum Administrasi Negara 120
Persinggungan Terminologi/Konsep 120
Persinggungan Substansi/Intensi Menyalahgunakan Kewenangan dan Penyalahgunaan Wewenang 121
Persinggungan Norma yang Dituju (Normadressat) Menyalahgunakan Kewenangan dan Penyalahgunaan Wewenang 124
Persinggungan Norma Perilaku yang Dikehendaki atau yang Tidak Dikehendaki (Normgedrag) Menyalahgunakan Kewenangan dan Penyalahgunaan Wewenang 125
Problematika Titik Singgung Kewenangan Mengadili Menyalahgunakan Kewenangan dan Penyalahgunaan Wewenang dari Kajian Perspektif Pandangan Doktrina/Akademisi, Praktik Peradilan serta Perspektif Peraturan Perundang-undangan 128
Perspektif Pandangan Doktrina/Akademisi dan Praktik Peradilan 128
Perspektif Peraturan Perundang-undangan 135
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jis Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 136
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 137
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 142
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 146
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 151
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2015 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 155
BAB 3 HUKUM PEMBUKTIAN DAN LIMITASI ALAT BUKTI DALAM PRAKTIK PERADILAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI INDONESIA 162
Pengertian Pembuktian dan Hukum Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana 162
Teori-teori tentang Sistem Pembuktian dalam Perkara Pidana dari Perspektif Normatif dan Praktik Peradilan 173
Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) 174
Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce) 176
Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) 177
Formulasi dan Penerapan Teori Pembalikan Beban Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi 181
Teori Pembalikan Beban Pembuktian (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/Onus of Proof) 181
Teori Pembalikan Beban Pembuktian Keseimbangan Kemungkinan (Balanced Probability of Principles) dalam Tindak Pidana Korupsi 186
Pembalikan Beban Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 190
Pembalikan Beban Pembuktian dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi 2003 Sesuai Ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 200
Praktik Pembalikan Beban Pembuktian di Negara Indonesia, Hong Kong, dan India 204
Limitasi Alat Bukti dari Perspektif Hukum Positif Sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam Perkara Tindak Pidana Tindak Pidana Korupsi 210
Keterangan Saksi 211
Keterangan Ahli 224
Surat 227
Petunjuk dan Perluasan Alat Bukti Petunjuk 228
Keterangan Terdakwa 232
BAB 4 PRAKTIK PEMERIKSAAN PERKARA KORUPSI PADA PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI INDONESIA 234
Pelaksanaan Teknis Administrasi Secara Manual dan Elektronik Pelimpahan Perkara Tindak Pidana Korupsi serta Pelaksanaan Tata Cara Teknis Persidangan Perkara pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 234
Tuntutan Pidana (Requisitoir) dan Pembelaan (Pleidooi/Clementie) dari Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum 257
Tuntutan Pidana (Requisitoir) 257
Pembelaan (Pleidoi) 262
Putusan Hakim Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi 264
Pengertian dan Jenis Putusan Hakim 264
Formalitas yang Harus Termuat dalam Putusan Hakim 268
Bentuk Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi 269
Penjatuhan Pidana dan Pertimbangan Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi Berbasis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 274
Jenis-jenis Formulasi Sanksi yang Dapat Dijatuhkan Hakim Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi 292
Terhadap Orang yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi 293
Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi 302
Upaya Hukum dan Prosedural Terhadap Putusan Hakim pada Perkara Tindak Pidana Korupsi 304
Pengertian Upaya Hukum (Rechtsmiddelen) 304
Upaya Hukum Biasa (Gewone Rechtsmiddelen) 306
Upaya Hukum Luar Biasa (Buitengewone Rechtsmiddelen) 332
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Cassatie in het belang van het rechts) atau “Kasasi Jabatan” 332
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap 334
BAGIAN KEDUA
PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF DIMENSI KEKINIAN (IUS CONSTITUTUM/IUS OPERATUM) DAN DIMENSI MASA MENDATANG (IUS CONSTITUENDUM) BERBASIS KEADILAN 339
BAB 5 PENGERTIAN, PENGATURAN, KARAKTERISTIK, DAN DOKTRIN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI 340
Pengertian dan Tipologi Tindak Pidana Korporasi 340
Pengaturan Tindak Pidana Korporasi dalam Perspektif Perbandingan Beberapa Negara 360
Hukum Pidana Indonesia 360
Hukum Pidana Australia 365
Hukum Pidana Afrika Selatan 368
Hukum Pidana Islandia 372
Hukum Pidana China 374
Karakteristik Kejahatan Korporasi dalam Panorama White Collar Crime, Transnational Organized Crime, dan Business Crime 376
Doktrin dan Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana 393
Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi 395
Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dikualifikasikan sebagai Pelaku Tindak Pidana Menurut Peraturan Perundangundangan Indonesia 410
BAB 6 PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF BINGKAI KEKINIAN (IUS CONSTITUTUM/ IUS OPERATUM) DAN DIMENSI MASA MENDATANG (IUS CONSTITUENDUM) BERBASIS KEADILAN 417
Alas Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Pemidanaan Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi 417
Filsafat Pemidanaan Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi dari Perspektif Normatif dan Teoretis 423
Praktik Pemidanaan Korporasi Pelaku Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Bingkai Kekinian (Ius Constitutum/Ius Operatum) 431
Model Ideal Pemidanaan Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Masa Mendatang (Ius Constituendum) Berbasis Keadilan 458
Konstruksi Norma dan Modifikasi Penerapan Konsep Deferred Prosecution Agreement Sesuai Kultur dan Filosofis Indonesia 458
Perampasan Aset Kekayaan Korporasi Melalui Non-Conviction-Based Asset Forteiture (NCB-Asset Forfeiture) 478
Pendekatan Keadilan Restoratif Melalui Modifikasi Penerapan Mediasi Penal Sesuai Kultur dan Filosofis Indonesia Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi 492
BAGIAN KETIGA
PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS KEADILAN 503
BAB 7 PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA PERSPEKTIF KEKINIAN DAN PERBANDINGAN 504
Terminologi, Pengertian, Urgensi, dan Kendala Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 504
Sejarah Perkembangan Pengembalian Aset Pelaku dari Masa ke Masa 520
Sejarah Pengembalian Aset pada Zaman Romawi 521
Sejarah Pengembalian Aset Abad XIII sampai Abad XVI 522
Sejarah Pengembalian Aset Abad XVII sampai Abad XVIII 522
Sejarah Pengembalian Aset Abad XIX sampai Abad XX 523
Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi Melalui Prosedur Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction-Based Asset Forfeiture) 524
Pengaturan Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Lintasan Sejarah Kebijakan Legislasi dari Perspektif Masa Kini, Masa Mendatang, dan Perbandingan 537
Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia 537
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset 547
Dalam Peraturan Perundang-undangan Beberapa Negara Asing 555
Dalam Pelbagai Konvensi Internasional 564
BAB 8 MODEL IDEAL PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS KEADILAN DI INDONESIA PADA MASA MENDATANG 570
Alas Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Terhadap Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi 570
Teori-teori dan Dimensi yang Berkorelasi dengan Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi 576
Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi dari Perspektif Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti-Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption 2003) 590
Model Ideal Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi 604
Rekonstruksi Regulasi Terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Pembuatan Regulasi Undang-Undang Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi 604
Modifikasi Penerapan Konsep Plea Bargaining System Sesuai Kultur dan Filosofis Indonesia 614
Penerapan Non-Conviction-Based Asset Forteiture (NCB-Asset Forfeiture) 634
Pengaturan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Sinergitas Koordinasi Antarlembaga Penegak Hukum dalam Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi