Sinopsis
Pengujian Undang Undang (Judicial Review) no 38 tahun 2008 tentang Pengesahan Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) kepada Mahkamah Konstitusi, menjadi tanda bahwa masih belum terdapat suatu jalan yang dapat menyelesaikan masalah antara hukum tata negara nasional dengan hukum (perjanjian) internasional. Masalah itu adalah Undang Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional ternyata masih bisa di Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi.
Dalam hierarki perundang-undangan, sebagaimana dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UUP3) pada Pasal 7 ayat (1), tidak menjelaskan kedudukan perjanjian internasional dalam perundang-undangan nasional. Apabila pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan melalui undang-undang, maka undang-undang pengesahan perjanjian internasional tersebut dapat dilakukan Judicial Review dengan konsekuensi undang-undang tersebut dinyatakan batal karena bertentangan dengan konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945. Akibat dari dibatalkannya Perjanjian Internasional tersebut dapat memberikan implikasi buruk terhadap politik luar negeri serta tentunya melemahkan posisi Kementerian Luar Negeri yang merupakan ujung tombak diplomasi negara.
Melihat persoalan yang dilematis antara hukum nasional dan hukum internasional ini maka penulis merasa penting untuk menggagas sebuah konsep yang dapat menjadi jalan tengah antara hukum tata negara (bidang perundang-undangan) dan hukum Internasional. Suatu praktik baru ketatanegaraan yakni Judicial Preview terhadap rancangan undang-undang ratifikasi dapat menjadi solusi untuk efektifitas proses ratifikasi dan pengundangan Perjanjian Internasional.
Judicial Preview terhadap RUU Ratifikasi perjanjian internasional adalah suatu tindakan untuk mengkaji substansi dari isi perjanjian internasional apakah sudah bersesuaian dengan konstitusi, perundang-undangan kepentingan nasional dan kebijakan pemerintahan, sebelum disahkan menjadi UU.