Sinopsis
“Seandainya Masyumi dan PNI bisa bekerja sama, maka sebenarnya tidak perlu ada Dwifungsi,” demikian pernyataan Jenderal T.B. Simatupang kepada Salim Said dalam wawancara pada tahun 1984. Apa yang disampaikan salah seorang pendiri dan pemikir militer Indonesia ini merupakan esensi dari buku Ini Bukan Kudeta. Meninjau pengalaman intervensi dan dominasi militer dalam politik di Indonesia sebelum tahun 1998, serta kegagalan eksperimen demokrasi di Mesir dan Thailand sampai hari ini, Salim Said menyimpulkan bahwa masyarakat yang terpecah, fragmented society, yang menimbulkan rasa saling curiga serta kurangnya rasa percaya diri di kalangan masyarakat sipil, merupakan penyebab utama militer ditarik dan tertarik masuk ke dunia politik. Kenapa Korea Selatan lebih berhasil meletakkan supremasi sipil atas militer dibandingkan Indonesia? Apakah penyakit “rebutan tentara” masih menjangkiti para politisi dan masyarakat sipil Indonesia setelah dua dasawarsa Reformasi yang mengakhiri Dwifungsi ABRI? Sudah amankah demokrasi Indonesia dari kemungkinan intervensi politik militer? Buku Ini Bukan Kudeta mencoba memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan ini. Melihat kegagalan demokrasi di Indonesia pada masa lalu, dan adanya kecenderungan naiknya pemimpin populis dan otoriter di beberapa negara, buku Ini Bukan Kudeta menjadi penting untuk dibaca sebagai pengingat agar rakyat Indonesia tidak terjerumus dalam lubang politik yang sama.
—Dewi Fortuna Anwar
Profesor Riset, Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2P-LIPI)
Lewat buku ini pembaca menjadi lebih mengerti perbedaan jiwa dan semangat para prajurit di negeri ini antara mereka yang berjuang mengantar kemerdekaan NKRI
dan generasi di bawahnya.
—Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara
Ketika ajakan untuk memahami Ini Bukan Kudeta telah diterima,
maka janganlah kaget kalau kejernihan informasi dan analisa yang diberikan buku ini tentang hubungan militer dan politik di Mesir, Thailand, Korea dan Indonesia bisa memukau. Seketika pembacaan telah dimulai, maka janganlah heran kalau hasrat membanding-bandingkan pengalaman dari keempat negara itu
tidak mudah terbendung.
—Taufik Abdullah, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia