Belbuk.comtoko buku onlineBuku Original021-4202857
Cara PembelianTestimoniPusat BantuanTentang KamiHubungi Kami
Buku    Sosial & Politik    Politik

Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto

Berat 0.42
Tahun 2015
Halaman 204
ISBN 9789794339053
Penerbit Mizan
Sinopsis       Buku Sejenis
 
Harga: Rp69.000
Tersedia:
Dikirim 2-5 hari berikutnya SETELAH pembayaran diterima. (Senin s/d Jumat, kecuali hari libur)

Pelanggan yang Membeli Buku Ini Juga Membeli Buku Berikut:

Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 (Edisi 2)
Majda El Muhtaj
Rp115.000
Filsafat Administrasi (Edisi Revisi)
Sondang P. Siagian
Rp62.000
Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
M. Daryono
Rp55.000
Logika
Mundiri
Rp58.000
Lainnya+   

Sinopsis

Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) 1965 adalah peristiwa besar yang mengubah sejarah Indonesia. Meski telah lewat setengah abad, Gestapu masih diselimuti kabut misteri dan pertanyaan. Buku ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan literatur sejenis, karena penulisnya menyaksikan langsung situasi di seputar Gestapu. Selain itu, sebagai akademisi, dia menguasai alat analisis dan kesempatan mempelajari dokumen dan literatur langka.

Dalam buku ini, penulis menjawab bermacam kontroversi secara berimbang serta berusaha menjawab pertanyaan terpenting: Siapa dalang sebenarnya dari Gestapu: Sukarno, Soeharto, atau Aidit?



“Bung Salim, menuliskan kesaksiannya tentang peristiwa sejarah yang super-misterius ini,
dengan gaya amat menarik dan memukau tentang 3 tokoh sentral di sekitar Peristiwa G-30-S.
Kesan saya dari membaca buku ini: Lebih baik menyalahkan seorang Aidit
daripada PKI sebagai keseluruhan Partai.”
—Asahan Alham Aidit, seorang eksil Indonesia yang menetap di Amsterdam


“Meski setengah abad telah lewat, misteri siapa yang membunuh enam jenderal
Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 belum terungkap seluruhnya.
Buku ini menawarkan analisis paling meyakinkan yang pernah saya baca.
Berkat pengalaman pribadi selaku wartawan pada masa itu serta ilmuwan politik
yang mengikuti dari dekat peran politik militer selama puluhan tahun,
penulis menjelaskan dengan jitu dan cermat peran yang kemungkinan besar
dimainkan para aktor penting, terutama Sukarno, Aidit, Syam, Latif, dan Soeharto.”
—R. William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University


“Dalam kaitan memperingati 50 tahun  kegagalan Gestapu,
saya mengusulkan agar Prof. Dr. Salim Said  memperdalam, memperluas,
dan memerinci satu bagian dari bukunya yang terdahulu. Buku inilah hasilnya.
Salim Said adalah salah satu saksi sejarah yang perlu menuliskan apa yang dialaminya.
Rasa ingin tahunya yang kuat, ketajaman analisisnya, posisinya dan sudut pandang yang tepat,
menjamin buku ini amat layak dibaca.”
—Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Pernah terbit sebagai bagian dari buku Dari Gestapu ke Reformasi.

Tentang Penulis
Salim Haji Said lahir sebagai anak tertua Haji Said dan Hajjah Salmah pada 10 November 1943, di Desa Amparita, Kabupaten Parepare, Sulawesi Selatan. Salim menjalani pendidikan dasarnya di Kota Parepare sebelum akhirnya menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo, Jawa Tengah. Selama lima tahun (1963-1968), dia belajar psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Salim beralih mempelajari ilmu sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI karena tidak lagi diizinkan bertahan di sekolah lamanya akibat tingkat absennya yang tinggi imbas kesibukannya sebagai demonstran dan wartawan. Dari FISIP UI, Salim Said mendapat gelar sarjana (Drs.) dalam Ilmu Sosiologi pada 1976. Pendidikan tingginya di Jakarta tersendat-sendat dan berlangsung lama karena kegiatannya sebagai aktivis mahasiswa dan kesibukannya sebagai wartawan. Pada 1979, Salim Said memulai pendidikan pascasarjana di Ohio University, Athens, Ohio Amerika Serikat. Mendapat gelar Master of Arts in International Affairs (MAIA) pada 1980, dia kemudian diterima pada program doktor di Ohio State University (OSU) dan belajar ilmu politik di bawah bimbingan Prof. Dr. Raymond William Liddle (Bill). Salim Said mendapat gelar Master (M.A.) kedua pada 1983, dan pada Desember 1985 dia memperoleh gelar Ph.D. dalam ilmu politik dengan disertasi mengenai peran politik militer Indonesia pada periode Revolusi Kemerdekaan.
Ketika menyelesaikan pendidikannya pada Jurusan Sosiologi FISIP UI, Salim Said menulis tesis mengenai sejarah sosial film Indonesia. Tidak terlalu sulit baginya menulis tesis tersebut karena selama bertahun-tahun dia juga bersibuk sebagai kritikus film majalah Tempo. Tesis itu merupakan usaha penulis menemukan jawaban atas keluhan terhadap rendahnya mutu film Indonesia. Dari penelitiannya, Salim Said berkesimpulan bahwa film Indonesia yang mendominasi pasar adalah memang buatan para pemilik modal yang memperlakukan film semata sebagai komoditas dagang. Karena kalkulasi pembuatan tontonan tersebut hanya didasarkan pada hitungan untung rugi materiel, tentu saja mutunya hampir mutlak ditentukan oleh pasar dan para pemilik modal yang memang tidak terlatih memperhitungkan aspek artistik. Tesis Salim Said terbit sebagai buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris (terjemahan).
Menurut pengakuannya sendiri, Salim hijrah ke Pulau Jawa pada usia 16 tahun dengan ambisi menjadi seniman. Semasa remaja di Parepare, Salim mulai menulis cerita pendek dan puisi. Di Pulau Jawa kemudian dia juga menulis sejumlah telaah karya-karya sastra. Salim yang tertarik seni peran (acting) pernah belajar teater, menyutradai pertunjukan drama, dan ikut tampil sebagai aktor. Di kemudian hari, dia belajar dunia perfilman, menyutradarai dan beberapa kali tampil di depan kamera.
Namun, dia secara berangsur menyadari bakat seninya ternyata tidak sepotensial daya kritisnya. Maka, dia pun beralih menjadi ilmuwan dan memusatkan perhatian pada studi ilmu sosial dan politik. Sebagai ilmuwan sosial politik, Salim Said telah menerbitkan sekitar 10 buku—dalam bahasa Indonesia dan Inggris—yang pada umumnya membicarakan peranan politik militer Indonesia. Beberapa buku mengenai film dan perfilman juga dihasilkannya. Kendati tidak lagi berambisi menjadi seniman, Salim Said tetap saja diangkat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, bahkan menjadi ketua lembaga kesenian itu selama hampir 10 tahun.
Dalam riwayat hidupnya, Salim Said tercatat sebagai wartawan selama 25 tahun. Dari kedudukan sebagai wartawan dan foreign travelling correspondent majalah Tempo itulah, Salim yang juga salah seorang pendiri majalah mingguan tersebut, berkesempatan berkeliling ke berbagai penjuru dunia dan menulis laporan dan analisis menarik mengenai negara-negara yang dikunjunginya. Salim Said bangga berkesempatan meliput hari-hari terakhir Kamboja sebelum jatuh ke tangan Khmer Merah yang menciptakan killing field, dan bulan-bulan terakhir sebelum Amerika Serikat dan rezim kanan di Vietnam Selatan secara sempurna ditendang keluar dari kawasan Indochina. Dengan usaha sendiri, Salim Said juga meliput pelaksanaan kesepakatan Camp David yang dicapai bersama Menachim Begin (Israel) dan Anwar Sadat (Mesir). Untuk peliputan ini, Salim Said harus terbang ke Kairo dengan biaya pribadi. Menyeberangi Terusan Suez dan melewati Kota Ismailia, dia melanjutkan perjalanan menuju Jerusalem melalui Gurun Sinai dan Tanah Genting Gaza.
Selama sembilan bulan pada awal masa Reformasi, Salim Said ditunjuk mewakili kaum cendekiawan pada Badan Pekerja- MPR (BP-MPR). Pada 2006, Guru Besar Ilmu Politik ini dipercayai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Dubes LBBP) untuk Republik Ceko yang berkedudukan di Praha.
Pada tahun-tahun terakhir ini, sebagai Guru Besar Ilmu Politik, Salim Said sibuk mengajar pada Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Pertahanan Indonesia, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal), Sekolah Staf dan Komando TNI (Sesko TNI), dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dia juga sibuk melakukan penelitian bagi buku yang sedang dipersiapkannya. “Saya terobsesi menyelesaikan penelitian dan menulis buku mengenai dinamika hubungan Presiden Sukarno dan militer dari masa Revolusi hingga naiknya Soeharto,” katanya.
(Kembali Ke Atas)

Ulasan

budi wibowobudi wibowo, 04 July, 2018
Rating: 5 dari 5 Bintang!
Wow..inilah fakta yang aktual dan orisinal yg dilihat dari seorang saksi hidup bung salim said
Apakah ulasan ini membantu?
Ya
 
Tidak
RiyantoRiyanto, 22 December, 2017
Rating: 5 dari 5 Bintang!
Menengok sejarah dengan berbagai perspektif bagus bukunya
Apakah ulasan ini membantu?
Ya
 
Tidak
Achmad Syahrul, S.H., M.H.Achmad Syahrul, S.H., M.H., 06 November, 2017
Rating: 4 dari 5 Bintang!
Mengulas sejarah kejadian , G30S 1965, yg selama ini simpang siur , dari sudut pandang penalaran seorang wartawan yg mengalami situasinya pada masa itu, dijabarkan secara apa adanya
Apakah ulasan ini membantu?
Ya
 
Tidak
Tambahkan Ulasan
3 dari 4 ulasan.  
Ulasan Lainnya »
(Kembali Ke Atas)
(Kembali Ke Atas)