Melantun tentang binatang sampai nabi, tentang cinta segitiga sampai maut, tentang lanskap sampai gairah revolusi, dan seterusnya --55 puisi dalam buku ini tampil dengan aneka suara dan mata yang tak tersangka.
* * *
Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur daripada taringku, namun kau tak mampu menjawab ketika seorang pelangganmu bertanya, "Mana yang paling baik untuk mematikan seekor kuda hitam?" (Kobra, h. 16)
dan lihatlah, di jantung khazanah ini tegak menjulang sebentuk museum, tempat kita leluasa mengimpikan revolusi, ketika kita mulai hamil oleh para panglima yang ternyata telah membelenggu sang penggali teluk sejak kemarin atau bertahun-tahun lalu. (Jangkar Perunggu, h. 44)
Mereka bertepuk tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba Dari balik lambungku, siap menyadap madu di lehermu. Ternyata namaku kontrabas, dan aku jirih pada pujian. (Kuintet, h. 137)