Sinopsis
“Berulang kali Yudhis berhasil menggiring kita ke sudut-sudut dunia rekaannya dan menjebak kita dalam berbagai situasi konyol. Ia kemudian menertawakan kita, atau mengajak kita menertawakan kekonyolan kita. Ironilah yang menyebabkan buku ini menjadi bacaan bermanfaat.”
—Sapardi Djoko Damono, Penyair
“Dengan mencuri Arjuna dari perbendaharaan klasik Jawa serta melemparkannya ke tengah dunia borjuis Jakarta masa kini dengan begitu saja, maka dengan caranya sendiri Yudhis telah menyerobot dari nenek moyangnya. Kekuatan novel ini diciptakan dari penggandaan penulisannya sambil menghantam tulang rusuk pembacanya.”
—Benedict R. O’G Anderson, Indonesianis, Cornell University, U.S.A
“Yudhis rupanya tokoh antagonis terhadap kehidupan sastra masa kini di Indonesia. Ia menempuh caranya sendiri dan menemukannya.”
—Jakob Sumardjo, Kritikus Sastra
“Kekuatan terbesar pada Yudhis adalah, ia sadar bahwa cara yang paling jitu untuk menyampaikan pesannya ialah dengan berpura-pura seolah-olah ia tidak mengatakan hal-hal yang penting.”
—Savitri Scherer, Doktor Ilmu Politik The Australian National University
“Pada Yudhis, kemudaan adalah sebuah ‘aset’, bukan hambatan. Ia tidak menyembunyikan keremajaan itu, bahkan ia bertolak dari sana: bukan saja para tokoh dalam cerita ini yang muda tapi juga cara melihat dan cara Yudhis. Seingat saya, ini sesuatu yang baru… sebuah novel yang tidak dibebani macam-macam, tetapi terbang-layang, spontan, main-main, dan karenanya enak dibaca.”
—Goenawan Mohamad, Jurnalis dan Budayawan